Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)
Pembangkit Listrik Tenaga Uap
adalah pembangkit yang mengandalkan energi kinetik dari uap untuk
menghasilkan energi listrik. Bentuk utama pembangkit listrik jenis ini
adalah Generator yang di hubungkan ke turbin dimana untuk memutar
turbin diperlukan energi kinetik dari uap panas atau kering. Pembangkit
listrik tenaga uap menggunakan berbagai macam bahan bakar terutama
batu-bara dan minyak bakar serta MFO untuk start awal.
![]() |
Pembangkit Listrik Tenaga Uap |
PLTU yang pertama
kali beroperasi di Indonesia yaitu pada tahun 1962 dengan kapasitas 25
MW, suhu 500 ¼C, tekanan 65 Kg/cm2, boiler masih menggunakan pipa biasa
dan pendingin generator dilakukan dengan udara. Kemajuan pada PLTU yang
pertama adalah boiler sudah dilengkapi pipa dinding dan pendingin
generator dilakukan dengan hidrogen, namun kapasitasnya masih 25 MW.
Bila dayanya ditingkatkan dari 100 - 200 MW, maka boilernya harus
dilengkapi super hiter, ekonomizer dan tungku tekanan. Kemudian
turbinnya bisa melakukan pemanasan ulang dan arus ganda dan pendingin
generatornya masih menggunakan hidrogen. Hanya saja untuk kapasitas 200
MW uap yang dihasilkan mempunyai tekanan 131,5 Kg/cm2 dan suhu 540 ¼C
dan bahan bakarnya masih menggunakan minyak bumi.
Ketika kapasitas PLTU sudah mencapai
400 MW maka bahan bakarnya sudah tidak menggunakan minyak bumi lagi
melainkan batu bara. Batu bara yang dipakai secara garis besar dibagi
menjadi dua bagian yaitu batu bara berkualitas tinggi dan batu bara
berkualitas rendah. Bila batu bara yang dipakai kualitasnya baik maka
akan sedikit sekali menghasilkan unsur berbahaya, sehingga tidak begitu
mencemari lingkungan. Sedang bila batu bara yang dipakai mutunya rendah
maka akan banyak menghasilkan unsur berbahaya seperti Sulfur, Nitrogen
dan Sodium. Apalagi bila pembakarannya tidak sempurna maka akan
dihasilkan pula unsur beracun seperti CO, akibatnya daya guna menjadi
rendah.
![]() |
Skema PLTU Batu Bara |
PLTU batu bara di
Indonesia yang pertama kali dibangun adalah di Suryalaya pada tahun1984
dengan kapasitas terpasang 4 x 400 MW. Kemudian PLTU Bukit Asam dengan
kapasitas 2 x 65 MW pada tahun 1987. Dan pada tahun 1993-an beroperasi
pula PLTU Paiton 1 dan 2 masing-masing dengan kapasitas 400 MW.
Kemudian PLTU Suryalaya akan dikembangkan dari unit 5 - 7 dengan
kapasitas 600 MW/unit. PLTU batu bara pada tahun 1994 kapasitasnya
sudah mencapai 2.130 MW (16% dari total daya terpasang). Pada tahun
2003 kapasitasnya diperkirakan sekitar 12.100 MW (37%), tahun 2008/09
mencapai 24.570 MW (48%) dan pada tahun 2020 sekitar 46.000 MW.
Sementara itu pemakaian batu bara pada tahun 1995 tercatat bahwa untuk
menghasilkan energi listrik sebsar 17,3 Twh dibutuhkan batu bara
sebanyak 7,5 juta ton. Dan pada tahun 2005 pemakaian batu bara
diperkirakan mencapai 45,2 juta ton dengan energi listrik yang
dihasilkan mencapai 104 Twh.
Banyaknya pemakaian batu bara
tentunya akan menentukan besarnya biaya pembangunan PLTU. Harga batu
bara itu sendiri ditentukan oleh nilai panasnya (Kcal/Kg), artinya bila
nilai panas tetap maka harga akan turun 1% pertahun. Sedang nilai panas
ditentukan oleh kandungan zat SOx yaitu suatu zat yang beracun, jadi
pada pembangkit harus dilengkapi alat penghisap SOx. Hal inilah yang
menyebabkan biaya PLTU Batu bara lebih tinggi sampai 20% dari pada PLTU
minyak bumi. Bila batu bara yang digunakan rendah kandungan SOx-nya
maka pembangkit tidak perlu dilengkapi oleh alat penghisap SOx dengan
demikian harga PLTU batu bara bisa lebih murah. Keunggulan pembangkit
ini adalah bahan bakarnya lebih murah harganya dari minyak dan
cadangannya tersedia dalam jumlah besar serta tersebar di seluruh
Indonesia.
Komentar
Posting Komentar